NARASI

Bersyukur dengan Tubuhku

 Aku memiliki sahabat bernama Syadena Alana Sofie, kami bersahabat sejak usia lima tahun. Ya, karena kami bertetangga dan masuk TK yang sama sehingga sering menghabiskan waktu bersama. Kami tumbuh dan berkembang bersama hingga kami duduk di Sekolah Menengah Pertama.

              Memasuki SMA, aku mulai membenci sahabatku. Kenapa? Karena dari waktu ke waktu, 
sahabatku itu menjadi wanita yang cantik, sedangkan aku berubah menjadi wanita yang jelek. Aku iri kepadanya, dia memiliki tubuh yang sangat langsing dan indah. Sementara aku memiliki tubuh yang sangat gendut. Pada mulanya, aku tidak meyukainya karena jika aku pergi bersamanya, semua mata akan memndang kagum kepadanya, sebaliknya orang-orang itu mungkin memandang jijik kepadaku. Setelah itu, aku akan dihujani salam dari laki-laki untuknya. Sialnya, tidak ada satu pun laki-laki yang tertarik memberiku salam.

       Aku telah tersiksa dan rasa iriku telah membakar hubungan baik kami. Aku sangat membencinya! Aku memilih tidak bermain lagi dengannya. Aku menghindari sahabatku itu. Jika dia mengajakku pergi, aku akan menolaknya. Aku melihat dia begitu sedih dengan penolakanku, tapi aku tidak peduli. Dia tidak tahu betapa aku juga sangat sedih karena itu. Terkadang aku merasa kangen kepadanya karena dia sering membuatku tertawa. Jujur saja, dia sangat menyenangkan. Jika sedang kangen kepada sahabatku yang cantik itu, aku akan mengintipnya dari jendela.
           
         Hari-hari terus berganti. Kini, kami hampir menyelesaikan bangku SMA, namun hubungan kami tidak juga membaik. Sesekali dia datang ke rumahku dan mengatakan rindu untuk bersamaku lagi, dan aku hanya diam. “Sebenarnya apa salahku?” tanyanya beberapa kali. Aku tidak menjawabnya. “Aku iri! Tahukah kamu?” jeritku dalam hati. Kemudian, aku melihatnya berjalan pulang dengan mata berkaca-kaca.

          Sahabatku, atau lebih tepatnya  mantan sahabatku punya kegiatan baru. Dia yang sangat senang beraerobik telah mengganti kegemarannya itu dengan berlari di seputaran kompleks setiap pagi. Sekali lagi, aku hanya memndangnya dari Jendela! Aku memandangnya dengan iri sekaligus kagum karena dia semakin terlihat cantik, langsing, dan sehat. Pernah suatu hari dia memergokiku sedang mengintipnya, lalu dia melambaikan tangan, isyarat mengajakku bergabung. Aku menggelengkan kepala, aku tidak mau menjadi objek penderita ketika bersamanya. Sejak itu, setiap sore dia mendatangi rumahku dan mengajakku berlari bersamanya. Ku pikir, dia menghinaku dengan memandangku sabagai wanita gendut.

            Awalnya, aku terpaksa mengikuti ajakannya. Lama-lama, aku terbiasa dengan celotehanya dan membuatku lupa kalau sepanjang sore, aku telah berlari sepanjang lebih dari lima kilometer. Aku mulai menyukainya, dan aku tidak lagi merasa tersiksa berada di dekatnya. Aku justru merasa istimewa, apalagi ketika timbanganku susut hampir delapan kilogram sejak membiasakan berlari setiap sore dengannya. Dan tahukah kamu, aku dan dia kini menjadi sahabat lagi, dan sungguh aku sangat menyayanginya.


Komentar

Postingan Populer